PERMASALAHAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DI INDONESIA
Daerah aliran sungai (DAS)
adalah suatu wilayah yang merupakan kesatuan ekosistem yang dibatasi
oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan dan penyalur
air, sedimen, unsur hara melalui sistem sungai, megeluarkannya melalui outlet
tunggal. Apabila turun hujan di daerah tersebut, maka air hujan yang turun akan
mengalir ke sungai-sungai yang ada disekitar daerah yang dituruni hujan. Karena
manfaat DAS adalah menerima, menyimpan, dan mengalirkan hujan yang jatuh
melalui sungai.
Daerah
Aliran Sungai sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang menerima,
mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya ke laut atau
danau. Sehingga fungsi hidrologisnya sangat dipengaruhi oleh jumlah curah hujan
yang diterima dan geologi yang mempengaruhi bentuk lahan. Adapaun fungsi
hidrologis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Mengalirkan air
2.
Menyangga kejadian puncak hujan
3.
Melepas air secara bertahap
4.
Memelihara kualitas air
5.
Mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor)
Kerusakan
kondisi hidrologis DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya dan
pemukiman yang tidak terkendali, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi
tanah dan air seringkali menjadi penyebab peningkatan erosi dan sedimentasi,
penurunan produktivitas lahan, percepatan degradasi lahan, dan banjir. Selain
itu, terjadi penurunan jumlah curah hujan secara luas di Jawa dan beberapa wilayah
lain di Indonesia pada waktu setengah abad sebelumnya yang berbanding lurus
dengan penurunan luas hutan.
Beberapa
masalah DAS yang tercatat antara lain:
1)
Degradasi hutan akibat illegal logging dan perambahan hutan tidak terkendali
untuk permukiman, pertanian, industry, dan sebagainya.
2)
Luasnya lahan kritis akibat intensitas penggunaan tanpa memperhatikan
prinsip-prinsip konservasi tanah dan air
3)
Erosi, longsor dan sedimentasi yang mengancam pendangkalan sungai, situ dan
waduk
4) Pencemaran air akibat limbah industry dan domestic
4) Pencemaran air akibat limbah industry dan domestic
5)
Pendidikan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hulu DAS dan sekitar bantaran
sungai pada umumnya masih rendah
6) Masih
tumpang tindihnya peraturan perundangan antar sector
7) Koordinasi dan sinergitas kebijakan, program dan kegiatan antar lembaga yang belum berjalan baik
7) Koordinasi dan sinergitas kebijakan, program dan kegiatan antar lembaga yang belum berjalan baik
8)
Belum adanya master plan pengelolaan DAS sebagai pedoman
9) Belum adanya system informasi terpadu dalam pengelolaan DAS
10) Kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS
11) Keterbatasan anggaran dalam pelaksanaan konservasi, rehabilitasi lahan, pemeliharaan sarana dan prasarana pengairan
9) Belum adanya system informasi terpadu dalam pengelolaan DAS
10) Kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS
11) Keterbatasan anggaran dalam pelaksanaan konservasi, rehabilitasi lahan, pemeliharaan sarana dan prasarana pengairan
Pertambahan
penduduk mengakibatkan peningkatan penyediaan kebutuhan sandang, papan dan
pangan, termasuk air. Jumlah masyarakat petani semakin bertambah, di sisi lain
lapangan kerja terbatas, sehingga pemilikan dan luas lahan garapan semakin
sempit, sehingga tekanan penduduk terhadap lahan untuk pertanian semakin berat.
Tekanan berat tercermin dari pemanfaatan lahan yang melampaui batas kemampuannya.
Akibat lebih lanjut adalah keseimbangan alam juga terganggu.
A. Masalah Pengelolaan DAS di Indonesia
1. Berorientasi Pada Fisik
Beberapa masalah DAS telah coba diantisipasi
pemerintah. Namun solusi untuk pengelolaan DAS yang dilakukan pemerintah cenderung
pada infrastruktur fisik. Pernyataan tersebut bisa dilihat dari bagaimana cara
pemerintah sekarang mengelola Ciliwung. Menurut penjelasan Pitoyo Subandrio,
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Departemen Pekerjaan Umum,
langkah-langkah pemerintah terhadap Sungai Ciliwung terangkum dalam program
Total Solution for Ciliwung. Langkah-langkah tersebut meliputi
1) membuat sudetan di Kebun Baru dan di Kalibata yang
akan dilakukan bersama antara Departemen Pekerjaan Umum (DPU) dengan Pemprov DKI
Jakarta,
2) membangun rusunawa ditujukan khususnya bagi masyarakat yang selama ini tinggal di bantaran sungai,
2) membangun rusunawa ditujukan khususnya bagi masyarakat yang selama ini tinggal di bantaran sungai,
3) mengadakan pemindahan paksa warga yang ada di bantaran
sungai kerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta dan Departemen Sosial. Pemindahan
ini diutamakan bagi warga yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sementara
yang tidak akan dipulangkan ke daerahnya dengan didampingi Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM),
4) melakukan normalisasi Sungai Ciliwung yang salah
satunya dengan melakukan pengerukan,
5) penambahan daun pintu air di pintu air Manggarai dan pintu air Karet,
6) menaikkan jembatan Banjir Kanal Barat (BKB) bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta,
7) revitalisasi Ciliwung lama terutama yang berada setelah pintu air Manggarai,
8) konservasi atau revitalisasi situ-situ, gerakan pembangunan sumur dan penghijauan,
9) membangun terowongan dari Ciliwung ke Banjir Kanal Timur melewati Cipinang.
5) penambahan daun pintu air di pintu air Manggarai dan pintu air Karet,
6) menaikkan jembatan Banjir Kanal Barat (BKB) bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta,
7) revitalisasi Ciliwung lama terutama yang berada setelah pintu air Manggarai,
8) konservasi atau revitalisasi situ-situ, gerakan pembangunan sumur dan penghijauan,
9) membangun terowongan dari Ciliwung ke Banjir Kanal Timur melewati Cipinang.
Langkah-langkah yang lebih beroreintasi fisik
ini ditargetkan akan selesai tahun 2014. Program pemerintah provinsi DKI
Jakarta lebih berorientasi fisik misalnya pembangunan GSW (Giant Sea Wall) yang
akan dibangun sepanjang 32 km dan akan menelan biaya sekitar Rp 100 Triliun
dengan memakan waktu 10 tahun. Atau pembangunan TM (terowongan multifungsi)
sepanjang 19 kilometer dan berdiameter 18 meter. Perkiraan biaya pembangunan TM
berkisar Rp 16 triliun. Penyelesaian megaproyek tersebut dijadwalkan sekitar
empat tahun.
Ada lagi permasalahan, rencana pengelolaan
sungai yang berorientasi pada pembangunan fisik yang dilakukan pemerintah
ternyata tidak diimbangi dengan revitalisasi teknologi. Sebagian besar
tekhnologi pengerukan sungai yang digunakan pemerintah Indonesia berasal dari
luar negeri. Sejak tahun 1950-an, Indonesia mengadopsi teknologi dari Belanda
untuk mengeruk beberapa sungai di Indonesia. Tapi sampai tahun 2012 pun,
pemerintah masih mengandalkan teknologi yang tidk jauh berbeda dari Belanda.
Hal ini bisa dilihat dari teknologi untuk proyek JEDI (bantuan pemerintah
Belanda), di mana mesin pengeruk yang dipakai berasal dari Belanda seperti
small floating bulldozer, hydraulic graf dan rotating drum separator.
2.
Monopoli Pengelolaan Sumber Daya Air
Permasalaan
lain DAS adalah adanya monopoli pengelolaan sumber daya air. Menurut Marwan
Batubara (2010), intervensi Bank Dunia dalam pengelolaan sungai mengarah pada dua hal, yaitu mendorong ketergantungan
Indonesia akan sumber pendanaan dari lembaga keuangan internasional khususnya
Bank Dunia baik dalam bentuk utang dan hibah, serta memuluskan program
privatisasi. Ketergantungan pendanaan bisa dilihat dari berbagai rekomendasi
yang diberikan Bank Dunia dari setiap proyek yang dijalankan. Alasan utama Bank
Dunia mendorong privatisasi adalah memberikan peran yang lebih besar bagi
swasta dengan mengurangi monopoli Negara khususnya pemerintah dalam pengelolaan
sungai. Asumsi Bank Dunia dengan masuknya swasta, maka pengelolaan air dan
sungai menjadi lebih efisien dan pengelolaan yang lebih baik. Kenyataannya,
privatisasi menimbulkan monopoli dalam bentuk lain. Jika sebelumnya monopoli
dilakukan Negara melalui kekuasaan pemerintah, sekarang monopoli dilakukan
swasta. Seperti kasus reklamasi pantai utara Jakarta, bukan lagi Negara
khususnya masyarakat yang diuntungkan tetapi korporasi lewat monopoli pembangunan
proyek-proyek besar seperti pemukiman mewah dan pengembangan kawasan wisata
yang mendapat untung. Pada lahan reklamasi di kawasan Ancol, muncul hunian
mewah seperti Bukit Golf Mediterania milik Agung Podomoro Group yang berada di
Pantai Indah Kapuk dan Mediterania Marina Residence. Hunian-hunian mewah dan
pengembangan kawasan wisata tadi ditujukan bagi masyarakat menengah ke atas,
bukan untuk orang miskin yang kesulitan mendapatkan tempat tinggal. Akibat
sosialnya, selain masyarakat miskin tidak mendapatkan akses perumahan yang
memadai, juga reklamasi telah menggusur nelayan dari pantai Utara Jakarta, dan
masyarakat Jakarta pun tidak bisa bebas menikmati Pantai Utara Jakarta karena
harus bayar. Sedangkan dampak lingkungannya adalah permukiman mewah tersebut
menghalangi aliran air hujan ke laut. Sehingga ketika musim hujan, ancaman
banjir tidak terelakkan dan Jakarta dapat menjadi kolam besar.
Kasus yang sama juga terjadi dalam
pengelolaan air bersih terutama di Jakarta. Privatisasi PDAM Jaya di tahun 1998
mendorong monopoli pengelolaan air hanya pada dua perusahaan besar yaitu PT PAM
Lyonnaise Jaya (Palyja) dari Inggris dan Thames PAM Jaya (sekarang Aetra) dari
Perancis.
Setelah lebih dari 13 tahun layanan air
bersih di Jakarta diprivatisasi, akses masyarakat terhadap air bersih tidak
membaik. Kedua operator tersebut saat ini hanya mampu memenuhi sekitar 54
persen kebutuhan air bersih untuk warga DKI Jakarta, sedangkan selebihnya 46
persen kebutuhan air bagi warga diperoleh dari sumber air tanah. Kedua operator
swasta gagal memenuhi harapan, untuk memberikan perbaikan layanan kepada
masyarakat. Target-target teknis yang telah disepakati gagal dipenuhi oleh dua
operator swasta. layanan yang tertuang di kontrak kerjasama tidak berhasil
dipenuhi, antara lain volume air yang terjual, kebocoran air dan cakupan
layanan. Tingkat kebocoran air mencapai 46% atau kurang lebih senilai Rp 1.764
miliar. Cakupan layanan hanya 63% pada akhir tahun 2008 , hal ini berarti ada
37% kelompok masyarakat Jakarta belum mendapatkan fasilitas air bersih.
PAM Jaya sendiri melalui Direkturnya
menyatakan bahwa sejak diprivatisasi, PAM Jaya mengalami kerugian hingga Rp.
583,67 milyar. Kerugian ini muncul akibat hutang shortfall, yaitu hutang yang
muncul akibat adanya selisih antara imbalan yang diberikan kepada dua operator
swasta dengan tarif . Apabila privatisasi air Jakarta tetap dilanjutkan sampai
kontrak konsesi berakhir maka kerugian PAM Jaya diperkirakan sebesar Rp. 18
triliun pada tahun 2022.
3. Tekanan Pencemaran
Dalam peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001
tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, pasal 1
pencemaran air adalah: “masuknya atau dimasukkan makhluk hidup, zat energy dan
atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air
tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya.” Beban pencemar (polutan) adalah
bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu
sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga menggangu peruntukan
ekosistem tersebut (Effendi,2003). Sumber pencemaran yang masuk ke badan
perairan dibedakan atas pencemaran yang disebabkan oleh alam polutan alamiah)
dan pecemaran yang disebabkan oleh alam dan pencemaran kegiatan mansia. Menurut
sugiharto (1989) air limbah didefinisikan sebagai kotoran dari masyarakat dan
rumah tangga dan juga yang berasal dari industry, air tanah, air permukaan
serta buangan lainnya.
Lingkungan perairan dapat merespon masuknya
bahan pencemar sebagai bagian dari proses alami untuk kembali pada kualitas air
semula. Proses ini disebut self purification. Definisi dari self purification
adalah pemulihan oleh proses alami baik secara total ataupun sebagian kembali
ke kondisi awal sungai dari bahan asing yang secara kualitas maupun kuantitas
menyebabkan perubahan karakteristik fisik, kimia dan atau biologi yang terukur
dari sungai (Benoit, 1971). Proses pemulihan secara alami berlangsung secara
fisik, kimiawi dan biologi. Sungai yang alami dapat mendukung alami proses
pemurnian diri dan menyebabkan kualitas air yang lebih baik dari kondisi air
semula. Proses tersebut disebut homeostatis.
Menurut
Davis dan Cornwell (1991), sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan dapat
berasal dari buangan yang diklasifikasikan:
1.
Point source discharges (sumber titik), yaitu sumber titik atau sumber pencemar
yang dapat diketahui secara akurat, dapat berupa suatu lokasi seperti air
limbah industry maupun domestic serta saluran lokasi seperti air limbah maupun
domestic serta saluran drainase.
2. Non point source (sebaran menyebar), berasal dari sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui run off (limpasan) dari wilayah pertanian, pemukiman dan perkotaan.
2. Non point source (sebaran menyebar), berasal dari sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui run off (limpasan) dari wilayah pertanian, pemukiman dan perkotaan.
Dampak
negative dari air limbah, antara lain:
1.
Gangguan terhadap kesehatan
2.
Gangguan terhadap Kehidupan Biotik
3.
Gangguan terhadap Keindahan
4.
Gangguan terhadap Kerusakan Benda
5.
Kurang Terpadu Dalam Pengelolaan DAS
Faktor
lain yang merupakan kendala dalam pengelolaan DAS adalah kurangnya keterpaduan
dan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS
termasuk dalam hal pembiayaannya. Kondisi ini terjadi karena banyaknya instansi
yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen
Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Bakosurtanal dan
Kementerian Lingkungan Hidup, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota,
perusahaan swasta, LSM dan masyarakat. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dan
panjangnya birokrasi yang perlu ditempuh, baik secara administrasi, perencanaan
dan teknis dilapangan, maka diperlukan adanya koordinasi intensif berbagai
pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah.
Keterpaduan
mengandung pengertian terbinanya keserasian, keselarasan, keseimbangan dan
koordinasi yang berdaya guna dan berhasil guna. Keterpaduan pengelolaan DAS
memerlukan partisipasi yang setara dan kesepakatan para pihak dalam segala hal
mulai dari penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
penilaian hasil-hasilnya.
Contoh
tidak terpadunya pengelolaan DAS adalah banjir di Jakarta. Banjir di Jakarta
merupakan salah satu indikator kegagalan pemerintah dan para pemangku
kepentingan lainnya dalam mengelola sumber daya alam yang memiliki manfaat
publik. DAS yang melintasi daerah Jakarta bermuara di provinsi Banten dan Jawa
Barat, juga melibatkan pemerintah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok,
Bekasi dan Tangerang. Tidak hanya itu, pengelolaan DAS juga melibatkan berbagai
kementerian seperti PU, Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Bappenas.
Lemahnya
koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menjalankan
program-program pengelolaan DAS terpadu merupakan focus masalah yang harus
dipecahkan bersama. Dalam hubungannya dengan otonomi daerah, penguatan kapasitas
dari para pemangku kepentingan untuk memecahkan masalah riil mengurangi resiko
banjir, merupakan agenda bersama para pemangku kepentingan yang tidak bisa
ditunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar